KoranMerahPutih.com – Kecukupan gizi pada anak terutama ketika 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) wajib jadi perhatian orang tua. Karena, di masa emas itu, anak memerlukan gizi yang lumayan untuk pertumbuhan serta perkembangan, yang mempengaruhi masa depan.
Ketua Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI), Arif Hidayat, mengatakan, kekurangan gizi dalam 1.000 HPK dapat menimbulkan gangguan-gangguan kesehatan. Ketika hal itu diabaikan, maka kemampuan serta produktivitas SDM pada masa depan pun terganggu.
Untuk itu, orang tua sudah semestinya memenuhi kebutuhan gizi anak. Mulai dari memastikan asupan protein yang cukup. Terutama protein hewani yang penting untuk meningkatkan daya tahan tubuh serta juga massa otak.
“Gizi anak tidak cukup bila hanya dari protein nabati seperti tahu dan tempe, tetapi dibutuhkan asupan protein hewani yang bisa didapat dari telur, ikan, daging serta susu,” jelas Arif baru-baru ini.
Tidak hanya itu, susu pula sangat penting. Susu sendiri memiliki energi, protein, asam amino serta mikronutrien hanya ditemui dalam makanan hewani. Mengkonsumsi susu yang cukup bisa menaikkan nutrisi penting untuk pencapaian Angka Kecukupan Gizi (AKG) untuk anak Indonesia.
Sayangnya, diungkapkan Arif, mengkonsumsi protein hewani serta susu pada balita menyebabkan masih rendah. Hal ini pastinya menambah tingginya prevalensi stunting serta gangguan gizi yang lain.
Lantas, masalah gizi juga terjadi karena adanya pengurangan aktivitas fisik warga, gangguan pola makan anak, dan kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kandungan gula garam lemak. Hal itu merupakan aspek yang berkontribusi pada 3 masalah gizi (triple burden of malnutrition) keluarga di Indonesia.
Ketiga masalah gizi itu merupakan kekurangan gizi, kelebihan berat badan, serta kekurangan zat gizi mikro dengan anemia. Apabila tidak ditangani secara baik serta sesegera mungkin, hal ini akan berkontribusi pada berbagai penyakit kronis di kemudian hari.
Sayangnya, pemahaman itu masih sedikit diketahui masyarakat. Ini disebabkan rendahnya literasi gizi. Sehingga, peningkatan literasi serta pemahaman masyarakat akan gizi penting dilakukan sejak dini.
Hal itu ikut dibantu oleh rendahnya penelitian yang bisa menjadi referensi peningkatan kesehatan masyarakat di Indonesia. Tidak hanya itu, dari sisi kuantitas juga peneliti Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga. Sebagai perbandingan, jumlah peneliti per 1 juta populasi di Malaysia menggapai angka 7.000, diikuti Singapore dengan angka 2.590. Sedangkan, Indonesia cuma berada di angka 1.071 dengan populasi penduduk yang cukup besar.
Untuk itu, dalam rangka mendorong pertumbuhan penelitian dan riset di Indonesia, Yayasan Abhipraya Insan Cendekia Indonesia (YAICI) menarik 4 universitas tersohor di Indonesia, antara lain Universitas Indonesia (UI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Airlangga (UNAIR), serta Universitas Negeri Semarang (UNNES), untuk melangsungkan penelitian bersama terkait Konsumsi Susu dan Status Gizi Anak di Indonesia.
“Ilmu pengetahuan serta teknologi saling berpacu. DI masa yang akan datang diperlukan SDM dengan mutu unggul, yang bisa mengikuti pergantian zaman. Sebab itu, sudah waktunya kita mengambil peran dalam globalisasi, salah satunya lewat dunia pendidikan, memperkaya literatur dengan penelitian- penelitian yang akan berguna untuk masyarakat,” tutup Arif.