Keluarga Muhammad Ali Tuntut Keadilan:Kasus Penghinaan Melalui WhatsApp

Surabaya — Koran Merah Putih Ir. Andidarti, SH, MH, yang merupakan kuasa hukum Bapak Muhammad Ali, mengambil tindakan tegas menyusul dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh seseorang berinisial J.H., seorang karyawan PT Conbloc Indonesia Persada. Laporan telah diajukan kepada pihak berwenang dengan dukungan bukti kuat, termasuk tangkapan layar dan rekaman Jumat Sore (11/4/25)

“Kami tidak menempuh jalur hukum untuk membalas, tetapi sebagai bentuk perlindungan hukum atas hak-hak klien kami. Setiap orang berhak atas martabat dan nama baiknya,” ungkap Andidarti dengan tegas.
Insiden ini berawal pada tanggal 29 Januari 2025, ketika J.H. diduga mengirim pesan bernada kasar melalui WhatsApp yang menyerang harkat martabat Bapak Muhammad Ali dan keluarganya. Penghinaan ini berlanjut melalui panggilan telepon yang dapat didengar oleh anggota keluarga lainnya. “Saat itu, Bapak Ali baru saja menjalani operasi patah. Telepon ditaruh di atas meja, sehingga semua yang ada di ruangan mendengar. Dengan demikian, perbuatan ini telah memenuhi unsur ‘di muka umum’,” jelas Andidarti.
Lebih memilukan, ujaran kebencian dari J.H. tak hanya menyasar Bapak Ali, tetapi juga anaknya yang berusia 14 tahun, bahkan mendiang istrinya. Anak tersebut merasa tertekan mendengar ayahnya dimaki-maki dan ditantang untuk datang ke rumah J.H., tindakan yang jelas sangat tidak pantas dan tidak berperikemanusiaan. “Apakah pantas seorang berpengaruh meminta anak kecil dilibatkan dalam konflik pribadi antara dirinya dan orang tua anak tersebut?” tanya Andidarti secara retoris.
Ucapan menyakitkan lainnya ditujukan kepada mendiang istri Bapak Ali, di mana J.H. menyatakan bahwa istri klien kami lebih dulu meninggal karena beliau bukan orang yang sholeh. Ini bukan hanya penghinaan, tetapi juga pelecehan terhadap seseorang yang sudah tiada,” tegas Andidarti.
Latar belakang konflik ini berakar pada sebuah kasus pidana di Jakarta, di mana adik kandung CH—kerabat J.H.—telah ditetapkan sebagai tersangka. Hukum yang seharusnya tegak malah terhambat oleh surat keterangan kesehatan jiwa yang diduga direkayasa, yang melibatkan J.H. bersama seorang dokter dari RSUD Dr. Soetomo Surabaya. “Bapak Ali telah mengkomunikasikan kepada pihak Polda Metro Jaya bahwa tersangka tidak gila. Jika perlu pemeriksaan, harus melalui second opinion dari rumah sakit yang ditunjuk,” kata Andidarti.
Ia menegaskan bahwa surat keterangan jiwa hanya sah secara hukum jika dikeluarkan oleh institusi yang ditunjuk oleh pihak kepolisian, bukan berdasarkan klaim pribadi yang dipesan oleh tersangka. Hal ini menimbulkan kecurigaan dan mengangkat pertanyaan besar mengenai keadilan dalam proses penegakan hukum.
Andidarti menutup pernyataannya dengan menyerukan agar penyidik menangani perkara ini secara objektif dan profesional, serta memberikan perhatian serius terhadap dampak psikologis yang dialami klien dan keluarganya. “Kami berharap kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur hukum yang tepat dan menghormati hukum yang berlaku di Indonesia,” pungkasnya. (DN)